Tuesday, October 16, 2012

Sekapur Sirih Seulas Pinang

Salam hormat,


Lagunya, Sekapur Sirih Seulas Pinang. Penyanyinya biduanita Saloma (Allahyarhamah).

Mendengarkan lagu dendangan biduanita Saloma ini memang membiaskan peristiwa zaman silam. Zaman  pemerintahan kesultanan Melayu dan kepahlawanan pendekarnya menjunjung titah diraja mempertahankan kedaulatan negeri daripada ancaman musuh. Musuhnya pelbagai, daripada bala tentera kerajaan negara lain (yang jadi saingan) kepada lanun yang mengganggu-gugat ketenteraman rakyat di laut dan di darat.      

Juga nostalgia pada zaman persekolahan ketika lagu ini popular di pentas-pentas bangsawan. Tahunnya, 60'an - era pop yeh yeh. Waktunya, waktu darjah enam sekolah rendah.

Dalam kesamaran ingatan, masih tetap terbayang di mata terngiang di telinga - alunan suara gemersik merdu si puteri kecil molek rakan sekelas, berbusana lengkap selayaknya sang penari tradisional Melayu, menyanyi sambil menari dengan lenggok lemah gemalai kumpulan penarinya. Persembahan mereka melengkapkan keasyikan episod bangsawan ala "Semerah Padi" atau "Pendekar Lima Bersaudara" kumpulan anak muda belia desa, di atas pentas budaya di padang sekolah.

(ii)

Sekarang ini, sukar menemukan upaya pementasan sedemikian rupa di kampung-kampung kita, apalagi di celah-celah kehidupan orang bandar. Kumpulan belia tidak lagi ghairah berwacana tentang seni budaya bangsa. Semua disibukkan oleh keutamaan belajar, bekerja, bermain politik atau membuang masa dengan kegiatan anak zaman baru. Amat sedikit kelompok anak muda yang aktif berkreatif menempatkan diri sebagai pewaris budayawan bangsa.  

Di sekolah juga, serupa! Sekolah sukar dibangunkan sebagai wadah membimbing anak muda memperkaya khazanah budaya bangsa, meskipun melalui kegiatan ko-kurikulum.

Guru-guru lebih terpesona memikul beban tanggungjawab menjawab persoalan kenapa keputusan peperiksaan awam tidak mencapai sasarannya daripada tanggungjawab membangunkan jatidiri rakyat yang kukuh akar budaya bangsanya. Murid-murid juga lebih terdorong untuk cuma menekuni keinginan akademik orang lain dan bermain angka biru-hitam atau merah, berbanding soal mempelajari dan mempertahankan nilai estetika, budaya dan susila warisan bangsa.

Bagaimana mahu kembali ke pangkal jalan?

(iii)

"Sekapur Sirih Seulas Pinang" memang kedengarannya santai tetapi sarat dengan kekuatan permainan emosi dalam menggarapi sebuah perpisahan. Berpisah memang menyedihkan, apalagi belum tentu pulang tidaknya. Namun, demi perjuangan mempertahankan tanah air, kepergian sang pendekar tetap direlakan dan direstui dengan harapan dan doa untuk beroleh kemenangan dan selamat kembali ke pangkuan yang disayang.


(Lagu di atas dinyanyikan oleh Zurin Aniza). 

Halusi saja lirik lagu ini. Pasti mengharukan.
Sekapur sirih, sekapur sirih seulas pinang
diberi bekal, diberi bekal buat perangsang
pergilah intan, pergi intan pergilah sayang
ke tengah medan, ke tengah medan pergilah berjuang.
Biarlah gugur, biarlah gugur bertumpah darah
biar berlengkar, biar berlengkar di medan perang
janganlah undur, jangan undur menyerah kalah
pantang pendekar, pantang pendekar di tengah gelanggang.
 
Janganlah sedih, janganlah sedih meninggal kami
senjata disandang, senjata disandang sebagai ganti
kami berdoa, kami berdoa setiap hari
selamat pergi, selamat pergi selamat kembali.

Ironisnya, maaf, semangat lagu itu nampaknya tidaklah bertempat sangat dalam kehidupan para perajurit negara zaman ini. Maklumlah, kita berada di sebuah negara yang aman merdeka! 



________________________

- SEORANG AKU







Saturday, October 13, 2012

Bermain dengan Kotak-kotak Waktu

Salam hormat,



Perjalanan waktu memang membuat banyak orang cemas, bingung atau penasaran. Namun bukan waktu itu yang selalunya menjadikan kita kewalahan, tetapi peristiwa yang mengiringi perjalanan sang waktu itu!

(ii)

Saban pagi kita meninggalkan rumah untuk bergegas ke tempat kerja. Perjalanan, dekat atau jauh, hanya ukuran jarak. Jarak lokasi dan jarak masa. Yang penting, minda sering mengingatkan kita untuk sampai tepat waktu, atau awal sedikit daripada batas waktu ditetapkan, walau apapun situasinya. Itu kewajiban. Itu buah percaturan pertimbangan akalsihat. Dalam memaknakan kewajiban itulah kita akan mendepani karenah rentetan peristiwa dalam hidup kita.   


Pun begitu, bukan suatu yang aneh untuk menyaksikan seseorang pekerja tidak mampu menepati waktu hadirnya. Dia mungkin dipayahkan oleh peristiwa waktu bangunnya, waktu mengurus persiapan bekerjanya, waktu memandunya di jalanraya, dan sebagainya. Peristiwa itulah  yang tampaknya mengatur gerak langkahnya.

Kita tidak mungkin menguasai semua peristiwa dalam hidup kita. Kesesakan jalanraya atau tayar kereta yang pancit kerana objek tajam misalnya. Namun dalam banyak situasi, kita mampu menelaah setiap ragam peristiwa seharian kita dan mencorakkannya mengikut acuan permainan kita.

Apabila peristiwa dizinkan mengatur hidup seseorang dan memaksakan kehendaknya, keasyikan meladeninya akan menjadikannya tidak lagi akur pada keperluan berakalsihat dan pertanggungjawaban. Dan dia akan mulai belajar menjadi pencipta alasan untuk keasyikannya itu. Tanpa peduli sangat soal kewajiban yang akhirnya terbeban sebagai wahana harga dirinya.   

(iii)

Di sekolah, seawal pagi lagi, guru-guru sudah bermain dengan waktu dan peristiwa. Berfungsi sebagai guru bertugas mingguan, atau sebagai pengendali majlis perhimpunan, sesi motivasi atau majlis tazkirah, atau sebagai guru mata-pelajaran, semua rentetan peristiwa itu perlu berjalan dalam kerangka kotak-kotak waktu yang ditetapkan, tanpa tolakansur. Sistem dan pertanggungjawaban yang mengaturnya begitu.

Kelangsungan peristiwa bukan dalam waktunya - sama ada mendahului atau melewati (kerana ketercepatan atau keterlewatan), menambahi atau mengurangi (kerana keghairahan atau kebosanan), apalagi menghindari peristiwa dan lingkungan waktunya - bukan saja akan menyulitkan murid dan guru lain yang terikat dengan komitmen peristiwa dan pertanggungjawaban masing-masing, tetapi turut merosakkan sistem nilai yang perlu dipertahankan sesebuah organiasasi. Apalagi untuk sebuah institusi bernama sekolah, dan digugat pula oleh pemikiran singkat dan tingkah ceroboh guru-guru sendiri.  

Sebenarnya, dalam meladeni karenah peristiwa dan memenuhi kotak waktunya, tidak ada tempat untuk membenarkan tingkah yang salah oleh pemikiran yang keliru, jumud atau tidak berlandaskan kerangka akalsihat, meski atas alasan keperluan beragama atau keutamaan pendidikan itu sendiri. Sementara waktu tetap berjalan tanpa menoleh, kitalah yang perlu menguasai peristiwa yang mengiringinya, bukan sebaliknya. Usahlah cenderung berprasangka buruk terhadap pihak lain kerana kegagalan kita sendiri, apalagi menyalahkan sistem yang ada.

(iv)

Yang dahulu tetap perlu didahulukan. Yang utama tetap perlu diutamakan. Namun semuanya mestilah dalam kerangka peristiwa dan waktu yang membenarkannya. Peristiwa lewat sampai ke pejabat, atau lambat menyudahkan tugasan yang diamanahkan, yang dengannya bererti  gagal memenuhi kotak waktu yang disediakan, tidak akan terjadi jika kita tidak terlibat dengan permainan karenah peribadi dan prasangka dalam mencorakkan peristiwa seharian kita dengan warna-warni pertanggungjawaban.

Demikianlah perangkap pemikiran dalam mendepani kelangsungan peristiwa dan perjalanan waktunya. Demikianlah jika kita hanya bermain-main dengan tanggungjawab dan kotak-kotak waktu, tidak menghormatinya atau menghargainya lagi.

______________________
- SEORANG AKU






   









Tuesday, October 9, 2012

Usah Terus Bertingkah, Siumanlah

Salam hormat,



Aduhai sedihnya Malaysiaku ini
sebuah negara molek berdaulat dan merdeka
menongkah hari-hari kelabu
oleh sumbangnya tingkah bicara
sebilangan pemain politiknya
penghias pentas parlimen dan dewan negeri
yang nyali bersandiwara tanpa rasa malu
merobek peluang mendewasakan negara
lewat kuasa dan amanah
sejak PRU lalu.

Kepada mereka,
demokrasi itu berbicara judes seenaknya
tiketnya hak asasi manusia,
sensitif itu tidak perlu bertempat
tiketnya juara kaum kerabat,
bertingkah itu bebas lepas semahunya
tiketnya gamitan kuasa parlimen negara.

Barangkali inilah padahnya
meletakkan kepimpinan demokrasi
di tangan para politikus
- sang korporat, oportunis dan chauvinist
atau peguam yang rakus -
menikam tajam adat lembaga
dengan sengat perkauman
tapi malu mengaku malah mahu menidakkan
asal-usul leluhurnya
kerana kepada mereka,
peduli apa soal sejarah dan sedar diri,
peduli apa soal bersyukur dan bertimbangrasa.

Demi keharmonian dan kelangsungan masa depan negara,
semoleknyalah untuk mereka ini
menjadi siuman
dan tidak terus bertingkah !!!
___________________

Terima kasih.

- Seorang Aku

Sunday, October 7, 2012

Daun Yang Jatuh Berguguran

Salam hormat,



Apa khabar pemimpin negeri
berkulatkah sudah tanjak penghias kepala
tak terjunjung lagi meski mentari membakar minda
pernah kaupakai sekali tapi disimpan kembali
ada Mendaliar tersenyum sinis menongkah mimpi
dan aku tak bisa lagi mengharap
keramat sembah bestarimu.

Apa khabar pemimpin negeri
berkaratkah sudah keris bersalut di pinggang
tak terhunus lagi meski masih di medan juang
pernah kauhunus sekali tapi disarung kembali
ada Kaduk naik junjungan terguris hati
dan aku tak bisa lagi mengharap
semangat kental pahlawanmu.

Apa khabar pemimpin negeri
layukah sudah bunga harum terselit di telinga
tak berseri lagi meski pawana setia menghembus lirih
pernah kauhidu sekali tapi wanginya memang tak seharum kasturi
ada Kitul menyuntingnya untuk seberkas janji
aku takbisa lagi mengharap
setia janji manismu.

(ii)

Berada di lapangan terbuka yang engkau pasrahkan
kering keringatmu tidak lagi
membasahi bumi pertiwi
aku jadi keletihan mengutip
dedaunan kering di halaman
hujan dan angin kerap mengusirnya
berserakan dan terpinggir
gersang di bawah mentari merahmu.

Pepohonan tua pun tak bisa menepis
tajamnya rintik hujan
dan angin badai yang berpuput manis
menghunjam dedaunan muda,
daun yang jatuh berguguran
yang takpernah membenci
hujan dan angin.

(iii)

Hari ini aku begitu sedih, sedih sekali
berbangsa tanpa jiwa bahasa pemberani
meski dilangir disolek dengan manifesto cantik
terpinggir jua sebenarnya di hati nurani
sang pemimpin penjaga amanah
yang lolongnya bergema meremang suasana
perit di hati rakyat biasa
di kolong jambatan di gubuk buruk
di desa terceruk.


_________________________________

- SEORANG AKU